tropicalfishforum.net – Indonesia tengah berada di ambang revolusi teknologi 5G, namun kendala terkait biaya frekuensi 5G menjadi sorotan utama. Asosiasi penyedia layanan seluler global, GSMA, mengeluarkan peringatan serius terkait potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 216 triliun jika biaya frekuensi 5G masih diterapkan dengan skema lama. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merespons laporan ini dengan membuka suara, mencermati implikasi yang mungkin terjadi.

“Masukan yang diberikan oleh GSMA merupakan pertimbangan berharga bagi task force. Hal ini menjadi fokus perhatian dan sejalan dengan arah yang telah diambil. Terkait rencana langkah ke depan, kami juga tengah merancang suatu panduan,” kata Denny Setiawan, Direktur SDPPI Kementerian Kominfo, dalam pernyataannya beberapa waktu yang lalu.

Denny juga menyampaikan bahwa Kementerian Kominfo sedang mempertimbangkan ulang biaya frekuensi 5G seluler untuk implementasinya pada spektrum yang baru. “Kami sedang mempertimbangkan agar tidak mengikuti model yang sudah berlaku. Meskipun laporan dari GSMA memberikan masukan yang berharga, kami harus memastikan agar perubahan yang dilakukan tidak melibatkan revisi peraturan yang terlalu kompleks. Jangan sampai aturan yang baru diterbitkan harus diubah kembali, sehingga kami mencari parameter yang dapat diimplementasikan sesuai dengan regulasi yang ada,” ungkapannya.

“Pada dasarnya, kami memberikan sambutan positif terhadap masukan tersebut, namun tetap disesuaikan dengan kondisi unik di Indonesia. Kami dapat mempertimbangkan beberapa hal, meskipun perubahan dalam regulasi tidak selalu mudah,” tambahnya.

Sebelumnya, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) telah mengungkapkan bahwa kondisi industri telekomunikasi Indonesia tidak berada dalam keadaan yang baik. Menyadari bahwa operator seluler memiliki peran krusial dalam pertumbuhan ekonomi digital, ATSI menekankan pentingnya untuk memperhatikan kondisi tersebut.

Merza Fachys, Wakil Ketua ATSI, menjelaskan bahwa industri telekomunikasi telah mengalami transformasi cepat dalam dekade terakhir. Layanan telekomunikasi yang awalnya berfokus pada panggilan telepon dan SMS kini mayoritas digunakan untuk akses internet.

ATSI bersama APJII, Apjatel, dan Askalsi melakukan kajian yang berkolaborasi dengan konsultan terkait rasionalisasi PNBP dan perizinan. Hasil kajian tersebut membentuk task force dan rencana bersama, di mana Menkominfo Budi Arie Setiadi menugaskan Dirjen SDPPI dan Dirjen PPI untuk membahas insentif PNBP bagi industri telekomunikasi.

Merza menyoroti bahwa beban biaya regulasi saat ini sudah mencapai tingkat yang tidak sehat secara global, mencapai 12% dari pendapatan. Dia menegaskan bahwa beban biaya ini, terutama terkait frekuensi, perlu ditinjau ulang. Meskipun pendapatan operator seluler hanya tumbuh sebesar 5,6%, biaya frekuensi 5G yang tinggi dan pertumbuhan trafik yang signifikan tidak memberikan kontribusi yang sebanding pada pendapatan operator.

Biaya Frekuensi 5G

Biaya Frekuensi 5G: Ancaman Bagi Transformasi Digital

Menurut laporan GSMA, biaya frekuensi 5G di Indonesia telah mengalami peningkatan signifikan. Hal ini dapat menjadi ancaman besar bagi operator seluler yang memiliki niat untuk berinvestasi dalam infrastruktur digital masa depan Indonesia. Dalam era di mana konektivitas yang cepat dan handal menjadi kunci untuk mendorong transformasi digital, kebijakan terkait biaya frekuensi 5G menjadi faktor penentu.

Kendala yang Dihadapi Operator Seluler

Dengan lelang spektrum frekuensi terbaru yang akan segera dilakukan di Indonesia, GSMA menyoroti kendala yang mungkin dihadapi oleh operator seluler. Biaya frekuensi 5G yang tinggi dapat menjadi beban finansial yang signifikan, menghambat kemampuan operator untuk menginvestasikan dana dalam infrastruktur 5G. Hal ini dapat memperlambat pengembangan jaringan 5G yang menjadi tulang punggung transformasi digital.

Baca Juga : “Membuka Era Baru: Kominfo Luncurkan Aplikasi Sigmon Sebagai Pesaing Speedtest dan Opensignal

Transformasi Digital dan Potensi Kerugian Ekonomi

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mendorong transformasi digital sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional. Namun, GSMA menunjukkan bahwa kebijakan biaya frekuensi 5G yang tinggi dapat menjadi penghambat utama terwujudnya visi tersebut. Potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 216 triliun dapat timbul jika tidak ada peninjauan kembali terhadap penetapan harga spektrum seluler 5G.

Biaya Frekuensi 5G

Respon Kementerian Kominfo

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memberikan tanggapan terhadap peringatan GSMA. Mereka menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan dengan serius masukan dari GSMA dan pihak-pihak terkait lainnya. Kominfo menyadari pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung investasi dan pertumbuhan sektor telekomunikasi di Indonesia.

Dampak Potensial terhadap Operator Seluler

Jika biaya frekuensi 5G tetap tinggi, operator seluler di Indonesia dapat menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan jaringan 5G yang luas dan efisien. Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh operator, tetapi juga oleh konsumen dan sektor bisnis yang mengandalkan konektivitas tingkat tinggi.

Urgensi Peninjauan Kembali Kebijakan

Peringatan GSMA menjadi panggilan untuk peninjauan kembali kebijakan biaya frekuensi 5G. Pentingnya konektivitas 5G dalam mendukung inovasi, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi tidak dapat diabaikan. Pemerintah perlu mencari keseimbangan antara memastikan pendapatan dari spektrum dan memberikan insentif bagi operator untuk melakukan investasi yang substansial.

Biaya Frekuensi 5G

Potensi Rugi Ekonomi dan Solusi

Potensi kerugian ekonomi sebesar Rp 216 triliun adalah sinyal serius bagi pemerintah untuk bertindak cepat. Solusi yang diusulkan termasuk peninjauan kembali struktur biaya frekuensi 5G, mempertimbangkan insentif untuk operator seluler yang aktif berinvestasi, dan berkolaborasi dengan pemangku kepentingan untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor telekomunikasi.

Kesimpulan: Keseimbangan yang Diperlukan

Sementara Indonesia berusaha untuk memasuki era 5G dan mewujudkan visi transformasi digitalnya, keseimbangan antara mengoptimalkan pendapatan dari frekuensi dan memberikan dukungan bagi operator seluler perlu dicapai. Kebijakan yang bijaksana dan mendukung pertumbuhan sektor telekomunikasi akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya maju dalam revolusi teknologi, tetapi juga meraih manfaat ekonomi maksimal dari perkembangan tersebut.